Jumat, 28 September 2007

KRITIK SASTRA FEMINIS


Judul Buku : Kritik Sastra Feminis (Sebuah Pengantar)
Penulis : Soenarjati Djajanegara
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Cetakan : 2000
Tebal : xiv + 63


Amerika, sebagai era baru bagi perempuan, atau ia menyebutnya era gegar gender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan itu memang terus berkembang hingga sekarang. Di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tsb. di berbagai bidang. Termasuk di bidang sastra.
Dalam sejarah kesusastraan di berbagai wilayah, kita akan melihat berbagai keadaan yang memiliki persamaan sehubungan dengan keberadaan perempuan di bidang ini, yakni tersubordinasi dan termarjinalisasinya keberadaan mereka, baik pada tataran proses kreatif, kesejarahan, maupun sosial. Sebagai contoh, di Amerika, seperti pernah dideskripsikan pengamat kajian wilayah Amerika, Soenarjati Djajanegara, selama berabad-abad hingga tahun 1960-an, sejumlah bentuk sastra, kurun-kurun waktu, sejarah, dan kanon sastra kesusastraan negeri itu tidak menyinggung satu orang pun penulis dari kalangan perempuan.



Di Eropa pun, dari segi proses kreatif dan sosial, banyak perempuan merasa tertekan dan dibayangi rasa bersalah atas keterlibatan mereka dalam dunia kepengarangan yang secara sosial dianggap mementingkan diri sendiri. Demi tunduk pada nilai-nilai patriarkhi, mereka pun menerima batasan tertentu dalam pengungkapan, yakni dengan menghayati standar estetika yang dituntut dari perempuan oleh laki-laki (misalnya dengan tetap menunjukkan diri sebagai wanita terhormat dalam isi karya dan pengungkapan, menghindari kekasaran, dan sensualitas, dll.).
Di negeri kita, keterpojokkan perempuan di dunia sastra juga terjadi, meski tak seseksis di Amerika. Sejarah kesusastraan kita sempat mencatat nama-nama dan karya-karya perempuan. Akan tetapi, dalam penilaian terhadap karya-karya mereka banyak terjadi pengabaian. Kritik kesusastraan lebih banyak difokuskan pada karya laki-laki sehingga pendeskripsian tentang wawasan estetik hanya didasarkan pada apa yang dicapai oleh laki-laki. Akibatnya, apa yang pernah dicapai perempuan, yang sebenarnya penting, tidak terjelaskan. Contohnya kita bisa menunjuk pada kasus penyair Maria Amin. Penyair ini hidup di zaman Jepang. Saat itu, bentuk puisi kita mulai membebaskan diri dari aturan-aturan puisi lama dan menerima bentuk puisi Barat yang lebih bebas, terutama dari Eropa, seperti soneta, dan juga bentuk-bentuk lain seperti dilakukan Chairil Anwar. Maria Amin tampil dengan sajak berbentuk prosa yang belum dilakukan penyair sebelumnya. Namun, tak ada kritikus yang melihat hal ini sebagai suatu fenomena, apalagi menilainya sebagai pembaru puisi Indonesia.
Kondisi-kondisi timpang di atas, seiring gerakan feminisme di berbagai belahan masyarakat dan berkembangnya kajian-kajian perempuan, dipertanyakan para feminis. Para feminis melihat perlu ada pengkajian dan penyusunan ulang terhadap kondisi kesusastraan itu dengan apa yang kemudian dinamakan kritik sastra feminis.
**
Kritik Sastra Feminis atau KSF -begitu singkatan yang tertera dalam buku ini- secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.
Akan tetapi, perlu dicatat, seperti gerakan/ideologi feminis itu sendiri yang tidak monolitik (terdiri atas berbagai aliran), kritik sastra feminis yang memang tumbuh dari gerakan ini, juga tidak monolitik. Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, postmodern, dll. yang masing-masing memiliki perbedaan pandangan/penekanan dan tak jarang bertentangan. Ada feminisme yang sangat maskulin, ada yang anti-maskulin, ada pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas.
Hal ini berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan menetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Tokoh-tokoh seperti Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dll. yang merupakan kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf adalah seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal. Keberagaman itu dapat saling mengisi, tapi dapat bertentangan dalam pengejawantahannya dalam KSF.
Hal seperti ini terasa juga di negeri kita. Meski penerapan kajian feminisme di bidang sastra di Indonesia lebih lambat dibandingkan penerapan di bidang-bidang lainnya, angin segar itu mulai terasa. Memang belum sepenuhnya seperti yang diharapkan. Namun, peningkatan kuantitas, kualitas, penilaian, dan pemberian kesempatan kepada perempuan sudah mulai menggembirakan. Hal ini memang tak lepas dari desakan dan sikap proaktif perempuan itu sendiri dengan sejumlah tindakannya, secara individu, maupun kelompok (bersama komunitas), misalnya dalam penerbitan karya-karya sastra, pendirian komunitas, dan even yang lebih difokuskan pada perempuan, dll.
Di sini pun perlu dipertanyakan mengapa kritik ini sangat jarang dipergunakan untuk menganalisis karya laki-laki. Padahal menurut sejarahnya, kritik ini juga diterapkan pada karya laki-laki untuk melihat bagaimana laki-laki mencitrakan perempuan dalam cerita-cerita rekaannya. Di Indonesia, hingga saat ini, belum ada penelitian mendalam terhadap penggambaran citra-citra perempuan dalam karya laki-laki. Yang ada selama ini baru sebatas dugaan. Kajian mendalam ke arah ini tampaknya akan bermanfaat untuk membantu penyadaran masyarakat terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Semoga kritik ini tidak hanya digunakan sebagai mode, tapi sebagai sebuah kesadaran.
Seperti dijelaskan dalam buku ini, Soenarjati Djajanegara, terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus pertama adalah pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.
Fokus kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan tentang sastra dan karya sastra yang ada selama ini dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini, KSF menyediakan konteks bagi penulis perempuan yang mendukung mereka agar mampu mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang selama ini diredam.
**
Gaya bahasa yang digunakan oleh Soenarjati Djajanegara dalam mengajak kita bertualang dalam seluk beluk KSF sangat simple dan mudah dicerna. Itu sebabnya buku ini enak dibaca. Apalagi dalam beberapa tahun sebelum buku ini terbit, buku khusus yang membahasa KSF dengan menggunakan bahasa Indonesia –bukan terjemahan- dan pengarang asli Indonesia belum dapat ditemukan di berbagai perpusatakaan dan penerbit Indonesia. Namun satu catatan, buku ini tidak memberikan pengangang khsusus kepada pembaca untuk dapat dijadikan referensi. Sebab, buku ini hanya sebuah pengantra dan tidak terlalu mendalam untuk membahas KSF yang cukup komplek. Tetapi, hanya sekedar pengantar umum yang memang dapat memberikan pemahaman awal pada pembaca tentang KSF secara umum.
Dan patut diapresiasi dari Soenarjati Djajanegara adalah usaha kerasnya lewat buku sederhana ini, dapat memberikan kelonggaran kepada pembaca untuk dapat memahami KFS sebagai salah satu teori sastra dalam mengkaji suatu karya sastra yang lebih di fokuskan pada feminisme. Paling tidak, sebagai buku awal yang khusus mengkaji tentang KFS dengan berbahasa Indonesia –sekali lagi bukan sebuah terjemahan- dan oleh orang Indonesia sebagai semangat baru khazanah pengkajian kesusastraan Indonesia.

Oleh : Ahmad Makki Hasan.

0 Comments: