Kamis, 27 September 2007

Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar


Judul : Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar
Penulis : M. Nur Kholis Setiawan
Cetakan : Cetakan Pertama, Desember 2005
Penerbit : eLSAQ Press
Tebal Buku : 289 halaman

Dalam Al-Qur’an terkandung nilai sastra. Meski bentuknya tampak menyerupai prosa, isinya terasa mendekati puisi. Kitab suci ini memang bukan sya’ir, bukan pula karya penyair. Isinya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad. Tapi setiap penyair yang membacanya kiranya merasakan keindahannya. Dengan keindahannya itulah, kita tahu, bukan hanya para penyair yang terpesona oleh bahasa Al-Qur’an. Para sarjana pun, baik muslim maupun non muslim, demikian. Mereka menelaah al-Qur’an dengan pendekatan yang lazim diterapkan dalam studi sastra.


Sebagai karya sastra, tentu saja al-Qur’an bisa didekati dengan pendekatan susastra. Pendekatan ini, atau lebih sering disebut sebagai al-manhaj al-adabi, memang tidak popular pada masa klasik. Al-Thabari, Ibnu Katsir, al-Zamakhsari, misalnya, belum memperkenalkan pendekatan ini pada masanya. Pada era Amin al-Khuli lah pendekatan diatas mulai digunakan dan terus popular hingga sekarang. Pendekatan ini dimaksudkan, seperti dipaparkan dalam buku ini, untuk memperoleh pesan al-Qur’an secara menyeluruh dan terhindar dari kepentingan individual ideologis. Sebab, kepentingan demikian ini akan membuat al-Qur’an hanya berfungsi sebagai legitimasi yang sarat dengan subjektivitas pembacanya.
Penulis buku ini memaparkan apa yang ia sebut sebagai metode pendekatan susastra terhadap al-Qur’an, mulai dari permulaanya hingga perkembangannya yang mutakhir. Study ini katanya didorong antara lain oleh pemikiran Amin Al-Khuli, dan mengalami perkembangan pesat pada paruh abad ke-20.
Dalam cakrawala historis itu, ia memaparkan pokok-pokok pikiran teoritis para penelaah al-Qur’an. Dipaparkan pula aspek-aspek stilistika dalam bahasa Al-Qur’an atau majaz, seperti ; isti’arah (metafora), tasybih (perbandingan), matsal (parable), tamtsil (persamaan), dan kinayah (metonimie).
Selain merujuk pada sumber-sumber klasik dan modern karya para sarjana islam, yang berbahasa arab, Penulis juga mengacu pada karya-karya sarjana Barat, khususnya yang berbahasa Jerman. Tapi sayang, penyutingan dan koreksi naskahnya terasa kurang nyaman, salah cetak dan inkonsistensi ejaan (misalnya, mufasir ataukah mufassir?) mudah ditemukan pembaca pada umumnya mungkin akan menyayangkan pula betapa kutipan langsung dari sumber berbahasa Arab dan Jerman dalam buku ini tidak sampai diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Mudah-mudahan kekurangan yang serupa itu tidak mengurangi arti penting buku ini. Setidaknya Buku ini turut menekankan bahwa teori dan metode kritik sastra juga bisa dimanfaatkan untuk memperdalam pemahaman atas kandungan al-Qur’an. Begitu banyak nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, begitu banyak pula jalan untuk mendekatinya. Sastra adalah salah satu diantaranya.

0 Comments: